Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah ke luar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia pernah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: ronggeng!
(Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari)
Aku masih ingat betul paragraf penggalan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk di atas. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Paragraf tersebut tertulis di dalam Lembar Kerja Siswa (atau lazim disebut LKS kala itu) mata pelajaran Bahasa Indonesia. Begitu lembar tersebut dibagikan, aku segera larut membaca potongan-potongan paragraf karya penulis terkenal Indonesia. Sampai akhirnya guruku yang memanggil-manggil tidak kuindahkan. Akhirnya oleh guruku tersebut aku diinstruksikan untuk menangani administrasi LKS ini di kelas sebagai hukuman. Wah, itu sudah lama sekali. Lanjutkan membaca “Ronggeng Dukuh Paruk”